Bungkam Radio RMS

Terlihat Noordraven dan Nurtanio (kedua dan ketiga dari kiri) tengah
terlibat pembicaraan dengan beberapa orang di depan tower Halim.

Mengamuknya KNIL di Makassar awal Agustus, jika dicari benang merahnya (mungkin) berkaitan dengan penyerangan stasiun radio (zenderpark) RMS di Kota Ambon oleh dua B-25 pada tanggal 4 Agustus 1950. Bagaimana jalan ceritanya?

Sebagaimana biasa di setiap konflik sampai ke tingkat paling radikal, perang, propaganda menjadi alat paling ampuh untuk menekan lawan. Menyadari itulah, RMS merebut stasiun pemancar RRI Ambon. Dengan leluasa RMS kemudian melempar isu-isu sensitif guna menarik simpati rakyat. Aksi “perang mulut” ini ditanggapi cepat oleh TM. Hingga suatu saat di awal bulan Agustus 1950, ruang operasi Lanud Kendari menerima perintah dari Mabes AURI untuk “mendiamkan” radio RMS.

Awak disiapkan. Pesawat dalam kondisi baik, bom tersedia cukup. Hari “H” ditetapkan 4 Agustus. Celakanya, B-25 M-460 hanya memiliki senapan mesin 12,7 mm saja. Ternyata lagi, fuse (sumbu) pada bom sudah tidak layak digunakan, disamping juru lempar bom (bombardir) juga tidak ada. Kalaupun dipaksakan, risikonya sangat tinggi. Karena untuk tepat mengenai sasaran, pesawat harus terbang rendah (top tree level) saat menjatuhkan bom.

Disinilah bahayanya, ledakan bom akan menghantam badan pesawat. Sebenarnya masih bisa diakali dengan menggunakan delay fuse. Alat ini akan menunda ledakan minimal 12 detik, hingga memberi kesempatan pesawat keluar dari daerah bahaya. Itu dia masalahnya, “Kita nggak punya,” jelas Noordraven.

Terus, bagaimana dong. “Ya sudah, kita lemparkan drum yang sudah diisi bensin saja,” saran Noordraven kepada Ismail. Teknik ini diketahui Noordraven pernah digunakan Rusia kala menyerang Jepang. “Prinsipnya seperti bom napalm.” Teorinya, begitu drum menyentuh sasaran, Ismail yang terbang lebih rendah, akan menembak dengan peluru mengandung fosfor (brandstichtend patronen). Dalam buku Sejarah Skadron 1/Pembom TNI AU 1950-1977, Ismail menulis “… menghargai kepercayaan yang diberikan kepadanya atas kemahirannya menembak”. Latihan dilaksanakan sekali untuk mempertebal keyakinan para awak.

Subuh, 4 Agustus. Waktu menunjukkan pukul 06.00 Wita. Dua B-25 registrasi M-439 dan M-460 jenis straffer disiapkan. Awak melakukan persiapan terakhir untuk memastikan pesawat ready to take off. Sebuah drum berisi bensin penuh, dimasukkan ke dalam bomb bay. Delapan senapan mesin kaliber 12,7 mm di hidung dan empat di sisi kiri-kanan siap menyalak.

Sekitar jam 06.45, enam bilah baling-baling mulai memutar dua mesin Wright R-2600-92 Cyclone. Pesawat yang prototipenya diterbangkan pilot-uji North American Paul Balfour di California, Januari 1939, mulai dimasuki awak satu per satu. M-439 diterbangkan Kapten PG0 Noordraven dengan ko-pilot Letnan Sutopo, Lesyu (teknisi), dan Sersan Udara Hasibuan (radio telegrafis). Sementara M-460 diterbangkan Letnan RJ Ismail dengan ko-pilot Letnan Patah. Awaknya, Sersan Udara Z Pelmelay (teknisi) dan Sersan Mayor Udara Agus (radio telegrafis).

Mesin M-439 berputar semakin kencang. Kabut tipis masih menyelimuti landasan. Tepat jam 07.00 Wita, mesin yang masing-masing berkekuatan 1.700 tenaga kuda mendorong pesawat meninggalkan landasan Kendari dengan tenaga penuh. Selang sekian detik, disusul M-460. Mengambil heading ke selatan, pesawat terus menanjak hingga ketinggian 5.000 kaki. Sambil terbang side by side, Noordraven terus mengatur penyerangan sebelum mencapai persis di atas target (Time Over Target). Tidak ada kejadian apa-apa selama perjalanan.

Satu jam penerbangan, pulau Ambon terlihat. Pesawat yang diproduksi mencapai 11.000 itu, perlahan-lahan menurunkan ketinggian hingga 1.000 kaki. Dari arah selatan kota Ambon yang berbukit-bukit, kedua pesawat mulai mengatur “pendadakan”.

Pada detik-detik menegangkan itu, saat pesawat mendekati sasaran, dari sisi barat samar-samar terlihat asap membumbung ke angkasa. Dalam bahasa perang, berarti tanda bahaya. Bagi Noordraven dan Ismail, berarti kecolongan. "Kita ketahuan,” kata Noordraven. Namun sebagai leader, Noordraven berpikir cepat dan segera memutuskan penyerangan harus dilakukan dari arah barat.

Pesawat berputar, dua B-25 terbang dari barat secara berdampingan. Target terpampang jelas di depan mata: sebuah pemancar radio. Tidak jauh dibelakangnya, terhampar teluk Ambon yang bermuara ke laut Banda. Tanpa sadar apa yang akan terjadi, sebuah kapal dagang membuang sauh di pelabuhan Halong. Pesawat sangat rendah, 500 m, on the deck, sebuah ketinggian minimum yang masih disebut aman. Begitu rendahnya, tulis Ismail, seolah-olah sayap pesawat tersangkut pada tiang-tiang antena. Untuk itu, lanjut Ismail, ketinggian sedikit ditambah.

Tiba-tiba Noordraven berbelok tajam ke kiri disusul belokkan ke kanan sambil menambah ketinggian. Manuver ini lazim disebut split attack. Persis di atas pemancar radio, bomb bay door M-439 terbuka. Ismail melihat jelas, mulai mengambil ancang-ancang. Empat senapan mesin kaliber 12,7 mm di kiri kanan pesawat, diaktifkannya. Ismail dan awak mencoba untuk tenang.

Saat yang ditunggu tiba. Drum berisi bensin penuh, dilepas dan meluncur ke bawah dengan kencangnya. Ibaratkan terjun payung, 70 meter terlewatkan hanya dalam waktu satu detik saat meluncur. Ismail hanya punya se-per­sekian detik saat drum menyentuh gedung pemancar. Kemampuannya menembak tepat betul-betul diuji di sini. Semua berlangsung begitu dramatis. Sekelebatan. Sementara Noordraven telah meninggalkan target dan terbang ke arah pelabuhan. Sekian detik lagi, drum akan menyentuh gedung dan hampir overshoot.

Bergalau pikiran berbaur ketegangan. Ismail memberondong. Luput! Drum yang dibidik tidak kena. Sial. Dampak membakar seperti napalm, tidak terjadi. “Bagaimana ini,” gerutu Ismail. Tidak ada kesempatan kedua. Tapi untunglah, sebelum detik-detik menentukan itu, Ismail telah melakukan tembakan terobosan ke arah gedung-gedung menjelang pemancar. Perhitungannya, andai gagal, target alternatif tidak luput.

“Daripada gagal sama sekali,” aku Ismail. Beberapa kaki di depannya, Ismail melihat Noordraven sedang menyapu sambil lewat sebuah kapal dagang yang bersandar di pelabuhan Halong. Sebanyak 12 senapan mesin 12,7-nya menghantam kontrol kabin kapal. Ismail yang diliputi rasa dongkol karena gagal menghancurkan target, tidak mau ketinggalan.

Dalam kekesalannya, diberondongnya pula kapal malang itu. Sayang pelampiasannya tidak berlangsung lama, karena mendadak mitraliurnya macet dan kebetulan, komandannya memanggil return to base. Padahal, Ismail sempal berniat kembali ke pemancar dan menghancurkan pemancar radio RMS itu.

“Saya tidak dapat menghilangkan kedongkolan, mengingat hasil pelaksanaan tugas yang kurang meyakinkan,” gerutu Ismail dalam perjalanan pulang ke Lanud Kendari.


Sumber