Letnan Hiroo Onoda, Perwira Jepang yg Menolak Menyerah Hingga Tahun 1974

Letnan Hiroo Onoda diawal bertugas

Hiroo Onoda adalah warga negara Jepang yang dulunya bekerja di sebuah perusahaan perdagangan Cina. Saat ia berumur 20 tahun, ia terkena wajib militer dan kemudian di latih sebagai pengumpul data rahasia alias intel dan prajurit perang gerilya kerajaan Jepang. 

Pada tanggal 26 desember 1944 ia  dan beberapa prajurit lainya di kirim ke pedalaman pulau subang Filipina untuk menjalankan misi yg di beri oleh Komandan nya, Mayor Taniguchi. Dalam misi nya ia dan prajurit lainya di perintahkan untuk mengumpul kan data inteligen dan sebisanya menghancurkan fasilitas tentara musuh yg ada di pulau tersebut. Mereka juga dilarang keras untuk melakukan bunuh diri dan menyerah ke pihak lawan walau apapun yg terjadi.

Mereka sama halnya dengan prajurit jepang lainnya mematuhi perintah yg di berikan dan melakukan perlawan secara gerilya selama hidup di hutan. Banyak dari mereka  yg terbunuh satu persatu oleh tentara sekutu. Walaupun begitu banyak nya prajurit yg terbunuh, Onada dan tiga orang prajurit lainya, Yuichi Akatsu, Siochi Shimada, dan Kinshichi Kozuka tetap dapat bertahan hidup dan mereka terus melakukan perlawanan secara bergerilya sambil berupaya mendapatkan asupan makanan yg cukup dengan memakan buah kelapa, pisang, dan buah-buahan liar lain nya yg dapat di temukan di hutan.

Suatu hari di bulan oktober 1945, ketika mereka sedang berburu makanan, mereka menemukan sebuah poster yg di jatuhkan dari pesawat tentara sekutu yg menyatakan bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat dan memerintahkan tentara jepang yg tersisa untuk segera turun ke kota untuk proses karantina dan deportasi kembali ke jepang. Namun mereka tidak percaya, karena ke patriotisian mereka sangat besar terhadap Jepang.  Bagi mereka, Jepang tak mungkin sebegitu mudahnya menyerah ke pada tentara sekutu, tak menyadari bahwa bom atom telah meluluh lantahkan Hirosima dan Nagasaki.

Akibat tak kepercayaan mereka terhadap ke aslian poster tersebut, mereka tetap menjalankan tugas mereka sebagai prajurit. Mereka terus menyerang pos-pos penjagaan polisi dan tentara Filipina sehingga membuat warga pribumi resah.  Beberapa petani  yg berkebun di sekitar hutan terbunuh dan banyak juga yg terluka parah karena di serang oleh kelompok Onada. Hal ini membuat marah warga Filipina, hingga mereka kembali menjatuhkan ratusan poster dari pesawat militer ke hutan, kali ini bukan hanya poster, namun juga surat kabar, majalah, dan surat-surat prajurit jepang lainnya yg menyuruh mereka untuk menyerah, namun apa mau dikata, ke taatan mereka terhadap perintah yg mereka terima tak bergeming. 

5 tahun kemudian, Akatsu, salah satu prajurit tersebut memutuskan untuk menyerah. Ia menyerah tanpa memberi tahu teman sesama prajurit lainnya. Ia di tahan oleh tentara Filipina dan kemudian di kirim kembali ke Jepang. Nasib yg berbeda menimpa  Shimada, 5 tahun setelah menyerahnya Akatsu, Shimada tewas tertembak setelah terlibat baku tembak. Sekarang hanya tersisa Onada dan Kozuka. Selama 17 tahun mereka hidup bersama di hutan, dan tetap melakakukan misi yg sama. Namun di tahun 1972, Kozuka terbunuh dalam baku tembak dengan Tentara Filipina yg sedang melakukan patrol di hutan. Tentara Filipina terlihat heran dan garuk-garuk kepala, karena mereka tak bisa membayangkan bahwa manusia bisa bertahan hidup di hutan selama 27 tahun di hutan hanya dengan asupan makanan yg seadanya. Akibat baku tembak inilah, upaya lainnya di lakukan untuk meyakinkan onada untuk menyerah. 

Pemerintah Jepang menurunkan tim penyelamat mereka ke pulau subang mencoba untuk menemukan Onada dan mengembalikan nya hidup-hidup ke Jepang. Namun, seberapa pun upaya yg mereka lakukan, batang hidung onada tetap tak di ditemukan. Hingga di tahun 1974, seorang backpacker asal jepang, Nario Suzuki, tak sengaja bertemu dengan onada di tempat persembunyian ketika hiking. Nario mencoba untuk membujuk Onada untuk kembali ke Jepang, namun onada masih berkeras kepala dan masih seratus persen yakin bahwa Jepang belum menyerah. Nario kemudian kembali ke Jepang dengan membawa berita bahwa Onada masih hidup. Ia lalu menemukan mantan atasan Onada, Mayor Taniguchi,  yg dulu memberinya perintah untuk tidak menyerah. Ia kemudian di bawa ke subang dan memberi tahu Onada bahwa Jepang telah kalah perang dan ia di perintahkan untuk meyerah kan semua senjatanya ke pemerintah Filipina.
proses menyerahnya Onoda

Ketika ia bertemu dengan Mayor Taniguchi, Jutaan rasa bersalah merasuki dirinya. Karena selama 29 tahun hidup di pedalaman subang, Ia telah membunuh setidaknya 30 orang pribumi dan menghancurkan kebun mereka. Ia juga merasa marah terhadap dirinya, karena ia telah membiarkan rasa curiga mengontrol gerak tubuhnya. Ia juga bertanya-tanya, mengapa ia hidup sedangkan ke dua teman nya mati sia-sia.

Perjalanan Onada sebagai prajurit akhirnya berakhir pada tanggal 10 maret 1975. Di hari itu, dengan seragam militer yg telah di pakainya selama 29 tahun, ia menyerahkan pedang samurainya ke pada presiden Filipina, Ferdinan Marcos. Onada di beri ampunnan atas pembunuhan yg telah ia lakukan karena ia berpikir perang masih berlangsung selama masa persembunyiannya. Ia akhirnya di kirim kembali ke jepang dan di sebut-sebut sebagai Pahlawan. Pemerintah jepang membayar gaji onada selama 30 tahun yg kemudian ia gunakan untuk membeli sebuah pertanian di Brazil. Ia meninggal dunia pada 16 Januari 2014 karena komplikasi Jantung.
Onoda Menyerahkan Pedang ke Presiden Filipina

Perjalanan hidup Onada ini mengajarkan kita bahwa Kecintaan tanah air adalah hal yg sangat penting. Ia rela menghabiskan 29 waktu hidupnya di hutan jauh dari orang-orang yg di cintainya demi Negara.

Mungkin sobat menganggap Onada sebagai orang bodoh yg menyia-nyiakan setengah umurnya hidup di hutan, tapi bila kita ambil sisi positive nya, Onada adalah orang yg mesti kita jadikan contoh, contoh bahwa kecintaan tanah air mesti kita pertahankan, walau apa pun yg terjadi. Sama halnya dengan kecintaan kita terhadap agama kita masing-masing.