Mayor Jenderal J.H.R. Kohler |
Kian banyak peran senjata api semasa pergolakan menentang Belanda pada abad ke 18 dan 19 membuat beragam senjata api banyak beredar di tangan sejumlah kelompok perlawanan. Sayang, penggunaannya belum maksimal mengingat kesulitan kelompok perlawanan memperoleh amunisinya. Terbukti dari uraian dalam laporan kematian para perwira pasukan kolonial Hindia Belanda yang kebanyakan tewas akibat senjata tajam atau tembakan jarak dekat.
Mungkin satu-satunya aksi tembak runduk kelompok perlawanan yang secara resmi di akui rejim kolonial Belanda adalah insiden tewasnya Mayor Jenderal JHR Kohler di depan Mesjid Raya Baitul Rachman, Kutaraja (kini banda Aceh) pada tanggal 1873. Saat itu pasukan ekspedisi Belanda berkekuatan 5.000 orang yang telah sembilan hari menyerang Kesultanan Aceh berhasil mendobrak pertahanan laskar Aceh di Mesjid Raya dan kemudian membakarnya hingga ludes.
Kohler yang tengah mengadakan inspeksi saat situasi sedang lengang hendak beristirahat di bawah sebuah pohon yang berjarak sekitar 100 m dari masjid. Mendadak sebuah tembakan meletus dan mengenai tepat di kepalanya sehingga membuat Kohler tewas seketika. Seketika itu juga si penembak di berondong tembakan oleh tentara Belanda, ternyata pelaku penembakan Kohler diketahui seorang remaja Laskar Aceh berusia 19 tahun yang bersembunyi di reruntuhan masjid.
Dilain pihak, laskar aceh sendiri sempat merasakan betapa ampuhnya sengatan penembak runduk, salah satu tokoh mereka, Teungku Umar, tewas di hajar sebutir peluru emas milik seorang penembak runduk dari satuan elit Marachaussee di pantai Sua Ujung Kuala. Saat itu Teungku Umar tengah merencanakan penyerbuan terhadap kota Meulaboh pada dini hari tanggal 11 Februari 1899.