Mobil Brig. Jend. Mallaby setelah di bom |
Mari kita lanjut kecerita selanjutnya, session kelima. Bagi yg belum membaca session keempat, bisa klik disini...
Kisah#12: Tidurlah Sekarang ! Besok Inggris Tidak Akan Memberi Kesempatan Kalian untuk Tidur
Mengetahui bahwa rakyat Indonesia di Surabaya mendapat ultimatum dari pasukan Inggris, pemerintah pusat nampaknya juga bingung mau bersikap bagaimana. Tidak mungkin bagi Bung Karno untuk meminta rakyat Surabaya menyerah dan mematuhi ultimatum Inggris. Sementara itu, pemerintah pusat juga tahu betapa tidak seimbang kekuatan senjata dan pengalaman tempur tentara reguler Inggris dengan arek-arek Suroboyo yang sebagian besar adalah warga kampung biasa. Akhirnya, setelah buntu semua jalan untuk mencegah Surabaya diserang habis-habisan oleh Inggris, pemerintah pusat menyerahkan pada para pemimpin di Jawa Timur untuk mengambil keputusan.
Maka Gubernur Surjo mengambil kepemimpinan dengan berbicara di radio: “.....Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad yang satu, yaitu berani mengahadapi segala kemungkinan. Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: lebih baik hancur dari pada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu…..Bismillahhirrohmanirrohim.....Selamat Berjuang !”
Pidato Gubernur Surjo yang memang sudah ditunggu-tunggu oleh rakyat Surabaya dan Jawa Timur itu merupakan perintah jelas dan penegasan bagi arek-arek Suroboyo untuk mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan bangsa, at any cost !
Menyusul pidato Gubernur Surjo itu, kota Surabaya seperti hendak menyambut pesta besar. Gema takbir terdengar dimana-mana berselang-seling dengan pekik kemerdekaan: dijalan-jalan, di mushola, di masjid, di warung-warung, dikampung-kampung, dipinggir Kali Mas, dan dimana saja tiap kali sesama elemen pejuang dan rakyat Surabaya bertemu. Semuanya merupakan tanda kesiapan lahir dan batin, kesatuan tekad, dan keiklasan yang dalam untuk menghadapi perang besar, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh rakyat Surabaya.
Semenjak pidato Gubernur Surjo itu, kota Surabaya kian hiruk pikuk oleh persiapan terakhir oleh arek-arek Suroboyo. Koordinasi dan komunikasi diantara elemen perjuangan ditingkatkan. Barikade-barikade untuk menghambat gerakan tank-tank Inggris diperkuat. Posisi-posisi strategis diperkuat. Pasukan-pasukan disebar di seluruh lini pertahanan. Bedil, mortir, panser (yang cuma beberapa biji), dan meriam (yang cuma beberapa pucuk) di periksa. Demikian juga dengan pedang, clurit, golok, keris juga diperiksa atau diasah lagi untuk memastikan bahwa senjata-senjata tajam itu cukup tajam saat disabetkan ke tubuh pasukan Inggris. Anak-anak, orang tua, dan warga perempuan diungsikan keluar dari kota untuk mengurangi korban sipil.
Bagi sebagian besar anggota TRIP, saat-saat usai pidato Gubernur Surjo adalah saat-saat yang sungguh mendebarkan. Banyak diantara mereka yang tidak bisa tidur untuk menghadapi pertempuran besar esok hari. Para remaja pejuang itu, yang masih bujangan, seperti hendak mau jadi pengantin saja. Berdebar tak sabar untuk segera bertemu sang mempelai. Guyonan seperti ”Koyok arep nikah ae rek ! Gak iso turu. Pingin ndang ketemu calon bojo” (Seperti hendak menikah aja Rek ! Tidak bisa tidur ingin cepat bertemu dengan calon istri) terdengar diantara mereka. Calon penganten yang dimaksud anggota TRIP itu tentu saja bukanlah perempuan gemulai nan cantik. Namun pasukan Inggris yang sangar dengan mesin perangnya yang mengerikan.
Bahkan salah seorang pimpinan TRIP mencoba mengingatkan teman-temannya untuk tidur agar bisa istirahat. ”Rek ! Turuo koen iku. Simpen tenogomu kanggo sesok. Inggris sesok gak bakalan ngekek’i kesempatan kanggo koen enak-enakan turu !” (Rek ! Tidurlah kalian. Simpan tenaga kalian buat besok. Inggris besok tidak bakalan memberi kesempatan kalian enak-enakan tidur).
Esok harinya, yang ditemukan oleh pasukan Inggris bukanlah barisan rakyat Surabaya yang datang dengan bendera putih ditangan untuk takluk kepada Inggris dengan tanpa perlawanan, namun ribuan pejuang bersenjata yang sudah siap di seluruh kota dengan segala macam persenjataan yang dimiliki. Inggris benar-benar kecele !
= = =
Kisah#13: Tentara Belanda "Gembeng" (Cengeng)
Setelah beberapa saat saling berhadap-hadapan di Kali Porong, arek-arek Suroboyo memutuskan untuk memperluas medan pertempuran dengan bergeser ke arah Selatan (arah ke Malang). Suatu ketika di daerah Pandaan, sebuah unit kecil pasukan Belanda berhasil disergap dengan cantik. Selain menewaskan beberapa serdadu Belanda totok, seorang Belanda totok juga bisa ditangkap hidup-hidup. Prajurit itu masihlah sangat muda. Lebih tua dikit dari anggota TRIP. Rupanya, serdadu Belanda itu gentar juga dikerubuti anggota TRIP yang nampak sangar, karena jarang mandi dan jarang ganti baju.
Seragam tempur serdadu Belanda, lengkap dengan sepatu botnya, ternyata membuat ngiler sebagian anggota TRIP. Karena seragam TRIP tidak sebanding dibanding dengan seragam serdadu Belanda. Maka dengan motivasi pingin memiliki seragam dan sepatu bot serdadu Belanda, dan memberi pelajaran kepada Belanda totok yang dengan lancang telah berani menginjakkan kakinya di Indonesia, maka serdadu itu dipaksa untuk mencopot seragam berikut sepatu botnya. Hanya celana kolor yang masih boleh dipakai.
Mendapat perlakuan seperti itu serdadu Belanda itu pun….menangis ketakutan. Kini giliran anggota TRIP yang kaget dan keheranan. Tentara bule kok gembeng (cengeng). Berani pula hendak menjarah kemerdekaan bangsa lain. Mungkin karena jengkel melihat tentara itu menangis, salah seorang anggota TRIP menjitak kepala tentara cengeng itu sembari mengatakan. ‘Nek gembeng yo ojok melu perang !!” (kalau cengeng ya jangan ikut perang !!”
Belakangan serdadu Belanda totok itu ditukar dengan tawaan pejuang Indonesia yang ditawan Belanda, karena sangat merepotkan menawan Belanda totok. Selain dia mengurangi persediaan pangan pasukan yang susah payah disumbangkan oleh penduduk juga...dia gak bisa makan menu para pejuang : nasi tiwul dan singkong rebus…!
= = =
Kisah#14: Nasib Pasukan Gurkha
Pada saat mendarat pertama kali di Surabaya, ada kesepakatan antara Mallaby dengan para pemimpin arek-arek Suroboyo bahwa pasukan Inggris hanya diijinkan paling jauh 800 meter dari pelabuhan dalam upaya mereka ngurus tawanan perang Jepang.
Namun ternyata kesepakatan ini dilanggar oleh Mallaby. Mungkin Mallaby menganggap remeh pemerintahan Indonesia di Surabaya. Maka tidak dapat dihindari lagi, terjadi gesekan-gesekan dilapangan antara para pejuang Indonesia dengan pasukan Inggris.
Pasukan Inggris, terutama Gurkha dan Pasukan India yang non-muslim (karena ada juga pasukan India Muslim yang kelak menjadi Pakistan dan sering membantu arek-arek Suroboyo dengan memberi senjata dan amunisi), seringkali bertindak kurang ajar dan kejam terhadap arek-arek Suroboyo. Sering sekali mereka melakukan sweeping dan kemudian merampas senjata-senjata yang dibawa oleh arek-arek Suroboyo saat bertemu dijalan. Bahkan jika ada arek Suroboyo yang menolak menyerahkan senjatanya, pasukan Inggris main tembak saja.
Akibatnya, kemarahan para pejuang kian tinggi sehingga diputuskan untuk menyerang pos-pos pasukan Inggris, terutama yang berada di area di luar jarak 800 meter sesuai kesepakatan (sungguh fair play arek-arek Suroboyo itu, meski dibuat marah, mereka masih menghormati kesepakatan yang dibuat oleh para pemimpinnya). Arek-arek Suroboyo yang marah menyerang seluruh pos pasukan Inggris, termasuk Gurkha. Arek-arek Suroboyo nampaknya punya perhitungan tersendiri terhadap pasukan Gurkha ini. Mereka inilah yang paling kurang ajar dan paling kejam diantara pasukan Inggris. Sebagian arek-arek Surabaya tahu reputasi dan pengalaman tempur Gurkha, tapi so what gitu lho? Tidak ada rasa takut atau segan sedikitpun untuk bertempur melawan pasukan Gurkha. Clurit orang Madura tidak kalah mematikan dengan pisau kukri Gurkha.
Sejarah kemudian mencatat, pos-pos pasukan Inggris itu dibuat morat-marit. Pertahanan mereka jebol dimana-mana akibat gelombang serangan arek-arek Suroboyo yang bertempur dengan trengginas. Pasukan Inggris yang masih selamat lari terbirit-birit kembali ke induk pasukan untuk menyelamatkan diri. Bahkan dengan meninggalkan jenasah teman-teman mereka. Naas bagi jenasah pasukan Gurkha yang tidak sempat dievakuasi. Sebagian arek-arek Suroboyo, mungkin karena situasi yang panas dan dendam yang membara, membuang sebagian jenasah pasukan Gurkha itu ke Kali Mas. Belum cukup disitu, sebagian arek-arek Suroboyo itu kemudian menjadikan jenasah yang terapung di kali itu sebagai titis-titisan (sasaran untuk latihan menembak).
Apa boleh buat, itulah peperangan yang akan selalu ada sisi-sisi kekejaman. Pasukan Gurkha telah menuai buah pahit dari bibit kekejaman dan permusuhan yang mereka tebar di Surabaya. Gurkha boleh saja membanggakan reputasi tempur mereka saat melawan Jepang, tapi saat melawan arek-arek Suroboyo, yang mereka ejek dengan sebutan “mob” atau milisi kelas Tiga, hanya tinta kelam memalukan yang mereka torehkan.
note : Gurkha pada saat itu adalah pasukan elit yg sangat disegani dan ditakuti. Hingga saat inipun reputasi pasukan ini masih sangat mengerikan, ini terbukti karena pasukan Gurkha masuk kedalam 10 besar pasukan elit dunia dan Gurkha berada diurutan ke-9.
Klo menurut gue kasian bgt yah..!!! masa pasukan elit kalah ma milisi yg kgak pernah perang sebelumnya, mau ditaruh dimana tuh muka, di ember..???
Bersambung...