A.E. Kawilarang |
Pembentukan Kesatuan Komando pada 1952, tak lepas dari peran Kolonel Alexander Evert Kawilarang. Beliau yang meneruskan dan mewujudkan gagasan Letnan Kolonel Slamet Riyadi untuk membentuk pasukan Komando yang terampil bertempur di segala medan, mampu bertempur dalam satuan kecil hingga dua orang, dan bersifat all round, sehingga mampu menghadapi musuh yang mobile.
Letkol Slamet Riyadi gugur pada 4 November 1950 dalam Operasi Senopati yang di gelar untuk menumpas RMS di Maluku, tak lama setelah mengungkapkan gagasannya kepada AE Kawilarang. Kini pasukan tersebut telah berkembang pesat dan berubah menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD.
Letkol Slamet Riyadi gugur pada 4 November 1950 dalam Operasi Senopati yang di gelar untuk menumpas RMS di Maluku, tak lama setelah mengungkapkan gagasannya kepada AE Kawilarang. Kini pasukan tersebut telah berkembang pesat dan berubah menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD.
Membentuk Pasukan Komando
Gagasan almarhum Slamet Riyadi membentuk pasukan Komando didasari pengalamannya melihat pasukan eks KST (Korps Speciale Troeper) yang bertempur di pihak RMS. KST adalah pasukan elit Belanda yang terkenal dengan baret hijaunya. Walaupun jumlahnya lebih kecil dari pasukan APRIS yang diterjunkan ke Maluku, dengan hanya berkuatan 2 kompi, pasukan KST mampu membuat 'kejutan' yang merepotkan dan sempat menghambat gerak maju pasukan APRIS.
Pada Operasi Senopati, Letnan Kolonel Slamet Riyadi adalah Komandan Pasukan wilayah Maluku Selatan sedangkan Kolonel AE Kawilarang adalah atasan langsungnya sebagai Panglima Operasi yang merangkap jabatan Panglima Komando TT VII/Indonesia Timur. Walaupun Slamet Riyadi dan AE Kawilarang baru mengenal selama tiga bulan sejak Juli 1950, namun hubungan keduanya sangat dekat ketika Operasi Senopati berlangsung. Mereka banyak berdikusi dan bertukar pendapat tentang apa yang dihadapi dalam pelaksaaan operasi di lapangan.
Selesai penumpasan RMS, Kolonel AE Kawilarang kembali memimpin pasukan untuk memadamkan pemberontakan Kahar Muzakar pada pertengahan 1951 di Makasar. Akhirnya Kolonel AE Kawilarang kembali ke Pulau Jawa setelah ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno pada November 1951 untuk menjabat sebagai Panglima Komando TT III/Siliwangi.
Sebagai Panglima Siliwangi, AE Kawilarang tentu saja sangat memperhatikan kondisi daerahnya termasuk potensi ancaman dan gangguan serta kesiapan pasukannya untuk menghadapi ancaman tersebut. Ketika itu di Jawa Barat berkobar pembrontakan DI/TII Kartosuwiryo. Anggota gerombolan DI/TII banyak berada di pegunungan dan hutan-hutan sehingga sulit bagi anggota Pasukan Siliwangi untuk melakukan 'pembersihan'. Pergerakan mereka cukup lihai dan lebih baik dalam penguasaan medan.
Kemampuan dan taktik Pasukan Siliwangi segera dibenahi, AE Kawilarang memerintahkan agar pasukannya mampu menjalin hubungan yang lebih erat dengan masyarakat sehingga gerombolan DI/TII akan kehilangan simpati serta dukungan terutama dukungan logistik. Melalui usaha-usaha itu diharapkan kekuatan gerombolan DI/TII akan lebih mudah ditumpas.
Karena kebutuhan akan pasukan yang mampu menghadapi gerombolan DI/TII yang mobile tersebut, AE Kawilarang teringat gagasan pembentukan pasukan berkualifikasi komando yang pernah diungkapkan almarhum Slamet Riyadi kepadanya.
Sebenarnya pembentukan pasukan komando bukan hal baru bagi AE Kawilarang, ketika menjabat sebagai Panglima Tentara & Teritorium I/Sumatera Utara pada 1950, ia sudah mengupayakan adanya pasukan khusus untuk mengantisipasi pemberontakan seperti APRA. Nama pasukan yang dibentuk adalah Ki-Pa-Ko (Kompi Pasukan Komando) karena baru sebesar satu kompi yang dipimpin oleh Kapten B. Nainggolan.
Setelah berunding dengan staffnya untuk mencari instruktur dalam membentuk pasukan komando, AE Kawilarang menugaskan Aloysius Soegianto, perwira intelijen yang juga mantan ajudan Slamet Riyadi untuk mencari Rokus Bernadus Visser. RB Visser merupakan seorang mantan Kapten Pasukan Komando Belanda, yang mengajukan pensiun dini dan menolak pulang ke negeri Belanda. Visser diketemukan sebagai petani kembang di daerah Cisarua dan berganti nama menjadi Mohammad Idjon Djanbi. Pengalamannya adalah pernah ambil bagian dalam operasi Market Garden di Belanda bersama pasukan sekutu menggempur pasukan Nazi Jerman pada perang dunia ke II. Ketika di Indonesia, Visser pernah menjabat sebagai Komandan Sekolah Pendidikan Para di Cimahi tahun 1949.
Dengan pengalamannya itu AE Kawilarang mencarinya untuk menjadi instruktur pasukan komando. Setelah Idjon Djanbi menerima tawaran, ia langsung diaktifkan sebagai personil ABRI dan diberi pangkat Mayor. Pangkat Mayor diberikan atas permintaan Idjon Djanbi, agar ia diberi pangkat lebih tinggi dari siswanya yang akan mengikuti pendidikan pasukan komando (saat itu siswanya yang paling tinggi berpangkat Kapten).
Beberapa instruktur inti yang membantu Mayor Idjon berasal dari instruktur SKI Cimahi karena telah dianggap mampu sebagai pelatih Infanteri, yang telah dilatih sendiri oleh Mayor Idjon Djanbi. Pendidikan komando awalnya dilakukan di Sekolah Kader Infanteri (SKI), Cimahi yang kemudian berpindah ke sebelah selatan Cimahi di daerah Batujajar, Jawa Barat.
Pemilihan baret merah, berdasarkan pengalaman Idjon Djanbi waktu dilatih The parachute Regiment yang menggunakan baret merah bukan baret hijau yang digunakan pasukan khusus Belanda (KST). maka dipilihlah baret merah untuk digunakan pasukan yang baru dibentuknya. Hasil pendidikan inilah yang mengisi kompi A yang merupakan satuan operasional Kesko TT III/Siliwangi. Dan diikut setakan untuk mengejar gerombolan DI/TII pada 1953 di wilayah Gunung Rakutak.
Kesko TT III/Siliwangi
Keberhasilan Kesko TT III/ Siliwangi dalam membasmi pemberontakan membuat Markas Besar Angkatan Darat menarik komando dan kendali pasukan ini dari Panglima Komando TT III/Siliwangi. Kemudian Pasukan inipun berganti nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan darat (KKAD).
Setelah jumlah anggota mencukupi dan berasal dari berbagai satuan Angkatan Darat, Pada tahun 1956 KKAD ditingkatkan statusnya menjadi resimen dan berubah menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) dan dipimpin oleh Mayor Idjon Djanbi berserta Mayor RE Djaelani sebagai Kepala Staff RPKAD. Untuk mampu bergerak cepat di wilayah Nusantara, maka mereka harus mempunyai kemampuan terjun payung kualifikasi Para. Maka pasukan ini menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat dengan pimpinan diserahkan kepada Mayor RE Djaelani.
Tahun 1966 berubah menjadi Pusat Pasukan Khusus Angkatan Darat (Puspassus AD). Lima tahun kemudian berubah kembali menjadi Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopasandha), dengan terus bertambahnya ilmu pendidikan dan kualitas ditingkatkan sehingga pada tahun 1986 berubah menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Anak Tentara
Ayah AE Kawilarang adalah seorang anggota KNIL, Mayor AHH Kawilarang. Sehingga tak heran AE Kawilarang menjadi tentara. Hidupya berpindah-pindah mengikuti tugas ayahnya. Mulai dari Jatinegara, Bukittinggi, Tarutung, Semarang, Cimahi hingga ayahnya pensiun di Bandung. Kawilarang menamatkan ELS (setingkat SD) kemudian ke HBS V. Lulus HBS V meneruskan masuk Korps Pendidikan Perwira Cadangan (CORO) milik Pasukan Belanda.
Setahun kemudian, Kawilarang diterima di Koninklijke Militaire Academie (KMA) yaitu Akademi Militer Kerajaan Belanda. Menjelang penyerahan pasukan Belanda kepada Balatentara Jepang pada Maret 1942, Kawilarang sudah menjadi instruktur di KMA. dan Kawilarang pun menjadi tawanan Jepang. Setelah bebas, ia hidup berpindah-pindah sampai Lampung. Di Lampung Kawilarang pernah disiksa kempetai karena tertangkap saat razia orang-orang Menado oleh Jepang.
Karir Militer
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Kawilarang pindah ke Jakarta dan melapor ke Jalan Cilacap No 5 dan bertemu dengan kawan-kawannya yang pernah di CORO dan KMA. Dari Jakarta, Kawilarang menuju ke Yogyakarta untuk melapor kepada Mayor Oerip Soemohardjo dan diperintahkan menemui Komandan Komandemen Jawa Barat, Didi Kartasasmita di Purwakarta.
Setibanya di Purwakarta pada Oktober 1945 ia mendapat tugas untuk pemulangan tawanan Belanda dan sekutu di Jakarta dan menjadi perwira penghubung dengan pasukan Inggris dan mendapatkan pangkat Mayor.
Kemudian Mayor Kawilarang mendapat beberapa penugasan di wilayah Jawa Barat dan mendapat promosi pangkat menjadi Letnan Kolonel. Mulai dari Kepala Staf Resimen Bogor - Divisi II Jawa Barat pada awal tahun 1946 lalu menjadi Komandan Resimen Infanteri Bogor pada pertengahan 1946 dan menjabat sebagai Koandan Brigade II/Suryakencana Divisi Siliwangi pada Agustus 1946.
Ketika pasukan sekutu hendak meninggalkan Indonesia pada November 1946, Letnan Kolonel AE Kawilarang berunding dengan Kolonel Thompson, Komandan Brigade I dari Divisi "7 Desember" tentang penentuan demarkasi.
Menjelang agresi Belanda I pada 21 Juli 1947, Kawilarang telah mendapat firasat akan serangan tersebut, maka ia segera mempersiapkan perlawanan gerilya jika keadaan menjadi gawat. Gerilya ini dilakukan hingga adanya gencatan senjata dan Perjanjian Renvile pada Januari 1948.
Melalui surat keputusan yang ditanda tangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta yang merangkap ad-interm sebagai Menteri Pertahanan pada Mei 1948 maka Letkol AE Kawilarang resmi diperintahkan mengisi jabatan Komandan Brigade yang baru untuk wilayah Tapanuli dan Sumatera Timur. Pada November 1948 Letkol Kawilarang ditunjuk sebagai Komandan Sub-Teritorium VII/Komando Sumatera.
Kembali Kawilarang merasakan bahwa pasukan Belanda akan melakukan serangan lagi karena adanya persiapan-persiapan yang mencurigakan di wilayah Tapanuli. Akhirnya terbukti Belanda melancarkan serangan pada 19 desember 1948 dan dikenal Agresi Belanda II.
Kembali Letkol AE Kawilarang melakukan perang gerilya bersama pasukannya yang berada dalam Sub-Teritorium VII/Komando Sumatera dibantu rakyat pada tahun 1948-1949. Menjelang pengakuan Belanda atas kedaulatan Pemerintah Indonesia pada 27 Desember 1949, Gencatan senjata di Sumatera baru resmi diberlakukan pada 15 Agustus 1949 tengah malam.
Atas prestasinya, promosi menjadi Kolonel diraih AE Kawilarang pada awal Desember 1949. Di bulan yang sama Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengangkat Kolonel Kawilarang menjadi Komandan Teritorium I/Sumatera Utara. Saat pengakuan kedaulatan oleh pihak Belanda, Kolonel AE Kawilarang menerima serah terima wilayah Sumatera Utara dari Mayor Jenderal P Schlolten, Panglima tentara Belanda untuk wilayah Sumatera Utara.
Tatkala pembrontakan APRA di Bandung pada 23 Januari 1950, di hari yang sama Kolonel AE Kawilarang sedang mendampingi kunjungan Presiden Soekarno ke Medan (sedang transit dua jam menuju India). Soekarno memerintahkan Kolonel AE Kawilarang untuk mencegah timbulnya peristiwa seperti APRA di Sumatera.
Pada 21 Februari 1950 Kolonel AE Kawilarang resmi menjadi Panglima Tentara dan Teritorium I/Sumatera Utara dan diberi kedudukan sebagai Gubernur Militer. Dua bulan berselang, Kawilarang dipindahkan ke Makasar sebagai Panglima TT VII/Indonesia Timur.
Serah terima jabatan Panglima TT-IIII/Siliwangi kepada Kol. A.E. Kawilarang |
Tugasnya memadamkan pemberontakan Andi Aziz yang didukung pasukan eks-KNIL. Selanjutnya Kawilarang ditugaskan menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) pimpinan Dr Soumokil mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur dengan operasi Senopati.
Atase Militer
Sebulan setelah Konferensi Asia Afrika di Bandung, pada tahun 1955 Kolonel Kawilarang bertemu KSAD Jenderal AH Nasution dan mengungkapkan keinginannya untuk belajar di luar negeri, maka Kolonel AE Kawilarang, menerima penugasan menjadi Atase Militer (Athan) KBRI di Washington DC, Amerika Serikat. Tugasnya untuk membantu perwira-perwira yang akan mengikuti pendidikan militer di Amerika Serikat.
Selang beberapa tahun, Kolonel AE Kawilarang menghadap Duta Besar RI untuk Amerika Serikat, Mukarto pada Maret 1958 dan menyampaikan bahwa dia ingin meletakan jabatannya sebagai Athan serta ingin kembali ke Sulawesi Utara. Pada saat itu Sulawesi Utara sedang terjadi Peristiwa Permesta dan Kawilarang tidak setuju atas kebijakan yang dilaksanakan Pemerintah Pusat.
Sewaktu kondisi keamanan kembali pulih pada tahun 1961, di Sulawesi Utara dilakukan upacara militer secara resmi untuk 'menerima kembali' Kolonel AE Kawilarang dan beberapa pengikutnya. Pada peristiwa tersebut, tidak digunakan istilah "menyerahkan diri" karena dianggap tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang.
Warga Kehormatan Kopassus
Prosesi Pembaretan |
Dalam Upacara resmi yang berlangsung 15 April 1999, hanya sehari sebelum HUT Komando Pasukan Khusus TNI AD (Kopassus), Kolonel (Pur) AE Kawilarang mendapat pembaretan sebagai Warga Kehormatan Kopassus, 47 tahun sesudah ia membentuk Kesatuan Komando Tentara dan Teritorium III/Siliwangi yang merupakan cikal bakal Kopassus.
Pada acara tersebut, Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus Mayjen TNI Syahrir meyematkan Brevet Komando Kehormatan, Pisau Komando dan Baret Merah kepada Kolonel AE Kawilarang di Markas Komando Kopassus di Cijantung, Jakarta.
Kawilarang menerima penghargaan tersebut di usianya ke 79 tahun dan satu tahun kemudian wafat di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo, Jakarta pada 6 Juni 2000. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikupa, Bandung.
------------==||end||==------------