Dari Kairo Sampai Pemaksaan Penyatuan - Krisis Semenanjung Korea 1950

Mau tidak mau, suka tidak suka, krisis di Semenanjung Korea belakangan ini tidaklah terlepas dari apa yang pernah terjadi sebelumnya, yang berpuncak pada berkobarnya Perang Korea (1950-53). Perang yang sia-sia karena pada akhirnya semua pihak tidak ada yang menang atau pun kalah. Lebih hebatnya lagi, perang itu pun hingga kini resminya belum berakhir, karena hanya gencatan senjata (cease fire) sajalah yang menghentikan perang tersebut, dan bukannya perjanjian damai antara kedua pihak sehingga apabila suasana permusuhan masih kental seperti sekarang, hal ini tidaklah mengherankan. Namun konsekuensinya jauh lebih menakutkan apabila perang baru sampai pecah.

Syngman Rhee presiden Korsel yang pertama sedang berpidato di hadapan petinggi militer AS di Korsel pada bulan Oktober 1945. Jenderal AS berkaca mata adalah Letjen John Hodge. Para petinggi tersebut sedang membahas masa depan Korea

Bagi kedua pihak, perang yang baru akan menjadi moment of truth bagi mereka. Keduanya kali ini akan berusaha saling menghabisi, seolah-olah tidak ada kesempatan lagi pada lain waktu. It’s now or never, begitulah kira-kira semboyan mereka. Kalau perlu dan ketika nalar sehat sudah hilang, maka kemungkinan dipakainya senjata nuklir pun terbuka mengingat Korea Utara telah memilikiya, sementara AS pun pasti mendukung sepenuhnya Korea Selatan. Mengapa perseteruan saudara sebangsa itu menjadi begitu tajamnya, sehingga orang di Korea Utara yang kedapatan menyimpan selebaran yang terbawa balon dari selatan pun harus menghadapi ajal di depan regu tembak (Kompas, 25 Januari 2011). Seberat itukah dosa mereka sehingga dieksekusi di muka umum. Tetapi itulah kenyataan yang menggambarkan betapa antipati kedua saudara sudah sedemikian besarnya.

Padahal perseteruan mereka itu hanyalah warisan dari persaingan dan permusuhan antara dua kekuatan besar seusai Perang Dunia Kedua, Amerika Serikat dengan sistem kapitalismenya yang berhadapan dengan komunisme Uni Soviet. Saat-saat itu AS sedang dilanda ketakutan yang mungkin berlebihan terhadap ancaman ekspansi komunis diseluruh dunia. Kecemasan terhadap kemungkinan subversi komunis itu pun misalnya tercermin dari gerakan `McCarthyisme’ di AS, ketika orang Amerika seperti kesetanan menghadapi isu apa pun yang dianggap berkaitan dengan komunis.

Ketakutan ini juga menyangkut Korea, menyusul jatuhnya China ke tangan komunis pimpinan Mao Zhe-dong tahun 1949 dengan kaburnya kaum nasionalis Kuomintang pimpinan Chiang Kai-shek ke Formosa (Taiwan). Sehingga begitu perang di Korea meletus pada 25 Juni 1950, McCarthy pun berkoar mengenai “matinya para pemuda Amerika di tanah Korea, sebagai akibat kelompok tak tersentuh di Deplu AS yang menyabot bantuan untuk Korea Selatan. Ia serang semua pihak di lingkungan pemerintahan AS dan para politisi yang dianggapnya tak sejalan dengan sikap anti-komunismenya. Semua dituduhnya sebagai komunis atau agennya.

Lima tahun sebelum perang pecah, hubungan AS dengan Uni Soviet mengalami kemerosotan tajam. Padahal selama PD II persekutuan mereka menghadapi fasisme Jerman-Jepang berjalan begitu baik. Bahkan AS memberi bantuan atau pinjaman apa saja kepada Moskwa agar mampu bertahan terhadap invasi Jerman Nazi, mulai dari kapal, pesawat, kendaraan perang, hingga apa saja yang diperlukan untuk mengalahkan Hitler. Tetapi begitu musuh bersama habis, maka mereka sendiri saling berhadapan.

Kesalahpahaman atau persepsi keliru satu sama lain semakin sering terjadi, bahkan banyak yang mengeras menjadi mitos-mitos yang justru makin membuat kondisi bertambah gawat. Namun apabila menilik latar belakang sejarah, maka antara pusat kapitalisme dengan pusat komunisme internasional itu dari awal memang tidak pernah baik. Bersama kekuatan Barat lainnya, AS ikut mengintervensi perang saudara di Rusia menyusul revolusi oleh kaum komunis tahun 1917. AS tidak mengakui Uni Soviet hingga tahun 1933, sementara Moskwa sendiri juga acap menyerukan revolusi dan penghancuran kapitalisme Amerika. AS juga dibuat kaget dengan aksi pembersihan kejam oleh Stalin di negerinya tahun 1930-an, ditambah adanya pakta Soviet dengan Nazi tahun 1939 yang membukakan pintu bagi Hitler untuk menyerbu Polandia sebulan kemudian.


Hawaii dari Kairo
Pada awal 1945 para pemimpin Sekutu dan Soviet bertemu di Yalta, sebuah resor di pantai Laut Hitam. Di sini mulai timbul kesan, bahwa persatuan dan persahabatan antara Amerika dan Uni Soviet akan segera berakhir. Namun pertemuan di Yalta membuktikan sebaliknya. Pertemuan ini justru menunjukkan betapa aliansi mereka masih kokoh. Presiden Franklin D. Roosevelt membeberkan visinya usai PD II yang tetap akan menjaga keutuhan Grand Alliance bersama para sekutunya termasuk Uni Soviet, Inggris, dan China. Roosevelt percaya diri bahwa dia dapat mengelola hubungan baik dengan Josef Stalin, pemimpin Soviet. Sebaliknya Stalin pun menunjukkan indikasi bahwa dia pun menyukai dan mengagumi Presiden Amerika itu.

Patung pasir yang mengganbarkan tokoh besar pada masa itu, Churchil, Rosevelt, dan stalin dalam
pertemuan di Yalta, Laut Hitam, Turki. Ketiganya masih menunjukkan kekompakan sebagai sekutu.

Bersama PM Inggris Winston Churchill, mereka mengeluarkan pernyataan, antara lain dalam tempo tiga bulan sesudah Jerman menyerah, maka Uni Soviet harus menyatakan perang terhadap Jepang. Sebagai kompensasinya, Soviet memperoleh wilayah yang semula dikuasai Jepang, seperti Kepulauan Kuril dan bagian selatan P. Sakhalin serta Port Arthur, yang tahun 1904 direbut oleh Jepang dari tangan Rusia.

Namun dibalik itu, beda visi antara AS dengan Soviet mulai naik kepermukaan. AS yang bervisi internasionalis atau dunia yang terbuka sesudah perang usai, ternyata tidak kompatibel dengan visi Soviet yang memandang dunia terbagi dalam lingkungan pengaruh (sphere of influence) mereka yang menang perang, termasuk Eropa Timur yang dikuasai oleh Soviet. AS merasa dikhianati dengan determinasi Soviet membagi-bagi dunia dalam lingkungan pengaruh tersebut. AS berbalik memandang bekas sekutunya menghadapi fasisme itu sebagi kekuatan yang ekspansionis dan totaliter, sehingga harus dihadapi dengan kombinasi sikap curiga dan ketegasan.

Sesudah Harry Truman menggantikan Presiden Roosevelt yang wafat menjelang berakhirnya PD II, maka ketegangan antara pusat kapitalisme dengan pusat komunisme itu pun semakin meningkat. Masalah Korea pun mulai dimunculkan lagi oleh Truman dan Stalin. Sejak konferensi di Kairo November 1943, para pemimpin Sekutu telah menggariskan bahwa “pada waktunya Korea akan dibebaskan dan menjadi negara merdeka.”

Perangko yang menggambarkan ketiga tokoh besar itu pun diproduksi oleh Soviet,
dalam ramgka memperingati 50 tahun Pertempuran Besar

Selama 40 tahun sebelumnya sejak perang Jepang - Rusia tahun 1904, Korea dianeksasi Jepang dengan brutal. Jepang ingin mengabsorsi Korea sebagai wilayahnya secara sepenuhnya dengan menindas semua perlawanan rakyat Korea. Bahkan berbagai identitas kenasionalan bangsa Korea pun dihancurkan dan dihapuskan demi `menyulap’-nya menjadi Jepang. Uni Soviet ikut menyepakati bahwa Jepang tidak akan diizinkan lagi untuk memiliki Korea. Hal ini ditegaskan kembali dalam konferensi di Teheran dan Postdam.

Dalam pertemuan di Kairo, sebetulnya Roosevelt tidak menyetujui ide pedudukan semenanjung Korea oleh salah satu kekuatan manapun. Dalam gambarannya, maka Korea memerlukan semacam dewan perwalian bersama (multipower trusteeship) selama periode tertentu hingga paling lama 40 tahun sebelum memperoleh kemerdekaan penuh. Roosevelt tidak menyetuju gagasan pendudukan terhadap Korea, sebab itu hanya akan menyebabkan rivalitas antara kekuatan besar. Persaingan semacam itulah yang pernah memicu konflik China-Jepang yang berebutan pengaruh di Korea awal abad ke-20, yang kemudian disusul perang Jepang versus Rusia tahun 1904-05.

Roosevelt juga ingin menghindari kesalahan tahun 1930-an ketika tidak ada usaha untuk menyetop ekspansi Jepang di Asia maupun agresi Jerman di Eropa Tengah. Karena itu dia pun disatu pihak menekankan arti penting hubungan dan kerjasama antara AS dengan Uni Soviet, namun pada pihak lain menyadari bahwa suatu pendudukan oleh Soviet di Korea akan mengancam posisi AS di Pasifik. Pendudukan itu hanya akan memperkuat posisi Soviet di Asia Timur Laut tanpa imbangan, mengingat Jepang sudah keok dalam PD II.

Namun sejarah menunjukkan AS gagal membuat pengaturan yang konkret mengenai Korea pasca perang. Kegagalan ini disebabkan sikap Washington yang sewaktu perang masih berlangsung, selalu menunda-nunda keputusan politik tentang berbagai hal pasca-perang. Roosevelt sendiri juga punya kecenderungan untuk menggantung atau mengulur masalah-masalah yang sulit. Padahal begitu perang dengan Jepang berakhir pada 15 Agustus 1945, kalangan Deplu AS sudah memperingatkan bahwa pendudukan oleh Soviet terhadap Semenanjung Korea akan langsung mengancam kepentingan keamanan Amerika di Timur Jauh.

Tetapi gayung itu tidak bersambut. Bahkan para petinggi militer di Pentagon bersikukuh bahwa Korea tidaklah memiliki nilai strategis. Lebih baik kekuatan AS dipakai di tempat-tempat lain yang lebih penting. Sekalipun demikian Truman yang belum lama menjabat sebagai presiden dan tidak menduga Jepang akan bertekuk lutut begitu cepat, masih mau mendengar pendapat staf Deplu yang menganut garis keras tentang Korea. Truman sendiri yang mulai merasakan hubungan dengan Uni Soviet sudah tidak seharmonis dulu, menyetujui usulan untuk mencegah pendudukan seluruh Korea oleh Soviet, dengan penetapan adanya pembatas pada garis lintang ke-38 di Semenanjung Korea. Bagian utara garis diperuntukan bagi Soviet, dan zona selatan untuk AS.


Berhadapan Langsung
Dengan demikian Uni Soviet dan Amerika akan berhadapan langsung di Korea. Namun sayangnya, dalam menentukan pembagian Korea menjadi dua zona tersebut, Gedung Putih kurang memperhitungkan aspirasi rakyat Korea sendiri, atau pun potensi kekacauan internal Korea ketika itu. Padahal selama empat ribu tahun Korea sudah menjadi suatu masyarakat bangsa yang homogen, dengan bahasa, warisan budaya, dan kultur politik yang tunggal. Usaha kejam Jepang selama 40 tahun untuk menghancurkan pola tradisonal bangsa Korea pun terbukti gagal. Dalam hal ini pengetahuan Washington tentang Korea rupanya nihil atau amat minim.

Personal marinir AS yang tewas dalam perang di Korea pada tahun 1950
sedang ditandu rekannya melintasi lahan persawahan di Korsel

Jika pun di Korea ada yang berubah akibat sistem kolonialisme Jepang yang keras, maka itu disebabkan oleh sistem desentralisasi pemerintahan, industrialisasi, sistem perdagangan dan sebagainya, yang mengakibatkan tercerabutnya penduduk pedesaan. Mereka pindah ke kota-kota, berubah dari petani menjadi buruh, tentara, penambang dan lain-lainya. Tetapi meskipun mereka terekspos ke dunia luar, mereka tidaklah pernah terlepas dari akar-akarnya.

Tatkala perang usai dan Jepang meninggakan Korea, maka terjadilah kevakuman yang diisi oeh pertarungan internal. Kaum kiri menuntut perubahan fundamental, berhadapan dengan para elit yang berusaha mempertahankan privilese yang mereka kenyam dalam pemerintahan Jepang. Dampaknya adalah semakin berkembangnya gerakan buruh, tani, dan politisi komunis. Kaum nasionalis yang berkoalisi dalam Republik Rakyat Korea (KPR), sebuah organisasi anti-Jepang, gagal menjembatani perbedaan antara mereka yang menganut garis kiri dengan yang kanan. Bahkan KPR sendiri semakin radikal, menuntut penyitaan tanah dan membagikannya kepada kaum tani. Begitu pula industri besar harus dinasionalisasi.

Suasana pertempuran saat pasukan AS-Korsel merebut Seoul dari tangan pasukan Korut

Tetapi kabar AS juga akan masuk menduduki Korea, membesarkan hati berbagai kelompok yang merasa terancam oleh gerakan kiri. Mereka lalu mendirikan Partai Demokratik Korea (KDP), yang segera menjadi tumpuan golongan kanan. KDP pun kini berhadapan langsung dengan KPR. Selain kedua faksi besar itu, juga bermunculan faksi-faksi moderat dan revolusioner lainnya, yang masing-masing memiliki aspirasi sendiri-sendiri, baik yang revolusioner maupun yang evolusioner. Tetapi semuanya satu pendapat, yakni kemerdekaan segera negerinya.

Berkembangnya kehendak segera memerdekakan diri itu membuktikan lagi kegagalan Jepang memadamkan nasionalisme bangsa Korea. Bahkan tahun 1919 sekelompok pelarian politik Korea berkumpul di Shanghai, China, membentuk Pemerintah Sementara Korea. Selain di China, berbagai kelompok nasionalis Korea juga bertumbuh di AS dan Soviet. Dua tokoh terkemuka dari gerakan perlawanan itu adalah Dr Syngman Rhee di AS dan Kim Sung-ju alias Kim Il-sung di Soviet. Rhee yang dilahirkan tahun 1875 sejak muda telah berjuang untuk bangsanya. Ia pernah dipenjara karena gerakanya. Bebas dari penjara tahun 1904 dia ke AS dan memperoleh gelar Ph.D. dalam hukum internasional dari Princeton (1910). Kembali ke Korea dia akan ditangkap Jepang karena kegiatannya, sehingga terpaksa lari kembali ke AS. Dia ke China dan diangkat sebagai pemimpin pemerintahan sementara Korea yang dibentuk di Shanghai tahun 1919. Dia dikenal sebagai nasionalis, konservatif, anti-komunis, percaya diri, dan juga ambisius.

Tatkala tentara Amerika mendarat di Korea bulan September 1945, maka seluruh negeri ketika itu telah bersepakat untuk mendapatkan kemerdekaan secepatnya. Syngman Rhee sebagai pejuang kemerdekaan paling senior pun telah bersiap pulang dari AS untuk mengambil alih tampuk pemerintahan Korea merdeka. Namun kenyataan di Korea tidaklah sesederhana itu. Sebab kelompok kiri, kaum komunis dan radikal lainnya telah bergerak, menginginkan kekuasaan pula.


Kegentingan Soviet -AS

Salah satu personel militer menangis dan berusaha ditenangkan oleh seorang rekannya saat
mengetahui banyak rekannya yang gugur di Pertempuran (Agustus 1950)

Mereka bergerak lebih cepat dan masuk hingga pedalaman. Karena Kim Il-sung yang pulang ke Korea bersama tentara Soviet yang masuk mendahului tentara Amerika, segera mengonsolidasikan kekuatan politiknya, terutama di utara garis lintang ke-38. Kim yang dilahirkan tahun 1910 adalah seorang pejuang kemerdekaan. Dia bergerilya melawan Jepang sampai kemudian terpaksa lari dan mengungsi ke Uni Soviet, masuk Tentara Merah. Dialah yang dielus-elus Soviet untuk memimpin Korea setelah merdeka. Tetapi seperti halnya AS, sebetulnya perhatian Soviet ke Korea juga tidak besar. Fokus perhatiannya adalah ke Eropa Timur yang betul-betul dijadikan tumpuan pengaruhnya pasca perang.

Karena itu Soviet lebih banyak menyerahkan proses politik di Korea bagian utara kepada orang Korea sendiri yang dipimpin oleh Kim II-sung. Hasilnya pun ternyata baik, karena mereka membentuk komite-komite rakyat sampai pelosok. Akibatnya partisipasi politik di wilayah utara lebih tinggi dari yang dijumpai di selatan. AS pada akhir 1945 pernah mengusulkan pembentukan komisi bersama dengan Soviet guna menyiapkan pemilihan pemerintahan sementara di Korea. Pemilihan ini akan diikuti pembentukan perwalian oleh AS, Soviet, Inggris, dan China hingga lima tahun sebelum Korea dberi kemerdekaan dan kedaulatan sepenuhnya. Soviet menyetujui usulan tersebut.

Namun pelaksanaannya mengalami berbagai hambatan, terutama sulitnya mempersatukan faksi-faksi politik Korea. Di kalangan kiri atau komunis sendiri, Kim Il-sung juga menghadapi saingan dari para kader komunis yang dibina di Yenan, China Berbagai demosntrasi menentang dewan perwalian negara asing muncul di mana-mana. Sementara itu hubungan AS dengan Soviet juga memburuk, yang antara lain dipicu penolakan Washington terhadap permintaan pinjaman dana satu miliar dolar AS oleh Moskwa. Stalin yang marah menegaskan, antara kapitalisme dengan komunisme memang tidak akan pernah kompatibel !

Kegentingan hubungan kedua negara besar itu pun berakibat di Korea, yaitu semakin tidak mungkinnya Korea dipersatukan sebagai satu negara. Bahkan pemecahan negara ini mengarah semakin permanen. AS yang semakin khawatir akan dominasi komunis, menegaskan tidak akan mundur dari semenanjung ini. Komisi bersama pun terbukti telah gagal. Karena itu AS mengajukan persoalan Korea kepada PBB, mengusulkan agar Uni Soviet dan AS menyelenggarakan pemilu di wilayah pendudukan masing-masing sebelum 31 Maret 1948. Pemilu ini untuk memilih majelis nasional dan suatu pemerintahan nasional.

Tentara kulit hitam AS juga terlihat dalam Perang Korea dan tampak sedang menembakkan senapan mesin

PBB menyetujui usulan ini dan membentuk Komisi Sementara PBB untuk Korea (UNTCOK) guna mengawasi pemilu. Namun kenyataan dilapangan berbeda sekali: Kaum kiri atau komunis juga kuat di wilayah selatan, sehingga ada ancaman bahwa AS bisa terusir dari Korea jika pemilu dimenangkan komunis. Akhirnya Washington berpendapat lebih baik ada pemerintahan sendiri di bagian selatan garis lintang ke-38, yang akan menghentikan infiltrasi dan pengaruh komunis dari utara. Dia pun mendukung Dr. Synman Rhee, satu-satunya tokoh politik terkuat di selatan. Sebagian anggota UNTCOK seperti Australia dan Kanada berpendapat pemilu tak mungkin dilaksanakan secara terpisah-pisah, melainkan harus menyeluruh. Mereka masih berharap adanya Korea yang satu.


Pemisahan Korea
Meskipun muncul tentangan di kalangan UNTCOK, namun pemilu tetap dilaksanakan di selatan pada bulan Mei 1948, dengan hasil Syngman Rhee memperoleh kemenangan. Dia dengan cepat membentuk pemerintahan yang terpisah dari wilayah utara. Pemerintahan Republik Korea (RoK) atau Korea Selatan ini mengangkat Rhee sebagai presiden pertamanya.

Sementara itu di utara garis lintang, kaum komunis pun tidak tinggal diam. Mereka membuat konstitusi sendiri, dan memproklamasikan berdirinya Republik Demokrasi Rakyat Korea atau Korea Utara, dengan Kim Il-sung sebagai perdana menteri pertama. Bulan Desember 1948, PBB yang dipengaruhi AS mengeluarkan resolusi yang hanya mengakui Republik Korea, karena di situlah UNTCOK dapat mengawasi jalannya pemilu. Tetapi kondisi politik di Selatan sendiri tak kunjung stabil, karena berbagai aksi menentang Rhee terus berlanjut.

Untuk mengakhirinya, Rhee bersikap represif dan memberlakukan keadaan darurat. Aksi kekerasan yang banyak memakan korban pun pecah, antara lain di Cheju-do, sebuah pulau di selatan semenanjung. Hanya karena dukungan Washington maka pemerintahan Syngman Rhee mampu bertahan. Rhee yang berambisi untuk menyatukan Korea, merasa tidak puas dengan skala bantuan militer dari AS yang sifat dan tujuannya hanyalah untuk defensif, bukan ofensif. Padahal Rhee menginginkan pesawat, kapal perang, dan persenjataan lainnya yang mampu melengkapi sedikitnya 100.000 pasukan. Washington setuju mendirikan Kelompok Penasihat Militer Korea (KMAG) untuk melatih militer Korea Selatan. Namun AS tidak siap bila harus membantu reunifikasi Rhee dengan menyerang Korea Utara.

Sekalipun begitu AS juga menyadari potensi pecahnya permusuhan lewat serangan oleh Korea Utara. Ironisnya, agar tidak terlibat lebih jauh, AS malah bermaksud menarik tentaranya dari Korea. AS hanya akan membantu Korea Selatan membangun kekuatan sendiri agar mampu bertahan. Sikap seperti inilah yang 20 tahun kemudan diulangi lagi di Vietnam dalam program yang terkenal dengan istilah “Vietnamisasi”, yaitu dengan mengurangi keterlibatan langsung pasukan Amerika di front dan menyerahkannya kepada pasukan Vietsel sendiri.

Sementara itu kondisi di Korsel sendiri semakin runyam. Presiden Rhee terjebak dalam pertengkaran dengan majelis nasional, serta bersikap makin keras terhadap oposisi. Washington sendiri terombang-ambing, karena politik luar negerinya waktu itu lebih mementingkan Eropa, namun untuk meninggalkan Korea juga tak mungkin sebab sudah kepalang basah. Korsel dijadikannya simbol demokrasi di Asia. Karena itu harus diselamatkan dari ekspansi kaum komunis. Perang dingin di Asia Timur pun semakin mengeras.

Di tengah suasana yang semakin tegang di Korea, Menlu Dean Acheson dalam pidato penting Januari 1950 di Washington menegaskan, bahwa perimeter pertahanan Amerika di Pasifik yang terjauh adalah Kep. Aleut, Jepang, dan Kep. Ryukyu serta Filipina. Dia tidak menyebut Formosa atau Korea Selatan sama sekali. Sehingga nantinya dia akan dipersalahkan seolah-olah telah mendorong Korea Utara untuk menyerang Selatan.

Dua-duanya berniat serupa apabila Presiden Rhee punya niat untuk mempersatukan kembali Korea dengan menyerang ke utara manakala kekuatan militernya sudah memungkinkan, maka PM Kim II-sung di Utara pun memiliki cita-cita serupa. Keduanya sama-sama nasionalis dan patriot tulen yang mendambakan Korea kembali sebagai satu negara dan satu bangsa. Persoalannya adalah perbedaan ideologi mereka, serta siapa yang lebih dulu merasa siap untuk melakukan serangan pertama. Washington sendiri memperkirakan suatu perang di Asia dalam rangka ekspansionisme komunis di Asia pasti akan terjadi. Tetapi kemungkinannya adalah di Formosa atau Indochina, bukan di Korea.

Ketumpulan analisis Washington tadi mungkin dikarenakan sejak 1945 setiap kali telah beredar isu bahwa komunis di utara akan menyerang selatan dengan dukungan Soviet. Namun itu terbukti hanya isu melulu, sehingga lama-lama kepekaan pun tergantikan oleh kekebalan terhadap isu semacam itu. Apalagi para ahli strategi Amerika juga melihat Soviet tidak menganggap Korea sebagai sesuatu yang penting, karena fokusnya lebih ke Eropa. Begitu pula karena kedekatan Seoul dengan PBB, rasanya tak mungkin jika Korsel akan diserang. Namun kenyataannya pada fajar 25 Juni, pasukan Utara tiba-tiba menyerbu ke Selatan, mengerahkan 110.000 paukan, 1.400 pucuk meriam, dan 126 buah tank.

Pasukan Tank Korut bersiap-siap untuk melakukan serangan

Meski semula AS keliru dalam perhitungannya megenai kemungkinan serangan dari Utara serta pecahnya perang di semenanjung ini, namun reaksinya terhadap serbuan itu sangat cepat. Selain meminta Dewan Keamanan PBB langsung bersidang, maka kekuatan militer Amerika pun diperintahkan mengamankan wilayah antara Seoul dengan Inchon, termasuk kemungkinan bertempur dengan pasukan Korut. Tujuan ini resminya untuk mengintervensi Korut terhadap evakuasi warga Amerika dari Seoul-I hon. Namun penugasan militer AS ini diputuskan sendiri oleh Presiden Truman tanpa mengacu pada PBB sama sekali. Ini merupakan presiden yang di kemudian hari diikuti oleh presiden Amerika lainnya seperti dalam perang Vietnam dan invasi ke Irak.

Tetapi apa yang melatarbelakangi serbuan Korut itu tetap tidak jelas. Bahkan ada yang berpendapat sebetulnya Selatanlah yang mula-mula melancarkan serangan, sesuai dengan ambisi Presiden Rhee untuk reunifikasi Korea. Tetapi pendapat seperti ini dibantah dengan kenyataan tidak berimbangnya kekuatan militer kedua pihak. Penulis dan sejarawan militer terkenal, Stephen Ambrose menyatakan, ofensif Korut itu “terlalu kuat, terlalu terkoordinasi baik, dan terlalu berhasil untuk suatu ofensif balasan.”

Pada saat perang pecah, kekuatan darat Utara terdiri dari 135.000 pasukan yang terlatih dan terorganisasi baik, termasuk 29.000 pasukan berpengalaman dari Manchuria. Mereka juga memiliki 150 tank, 110 pesawat tempur, dan ribuan pucuk artileri. Sebaliknya Selatan hanya memiliki sekitar 100.000 pasukan dan persejantaannya kurang lengkap, ditambah 25.000 polisi. Mereka tidak memiliki tank, artileri medium, pesawat tempur atau pun pengebom.


Preemptive strike
Memang benar bahwa perang ini diwarnai nuansa perang dingin antara AS dengan Uni Soviet. Namun banyak pengamat menyebutkan perang ini bukanlah kepanjangan perang dingin, melainkan lebih sebagai perang saudara yang sesungguhnya. Bahkan serbuan Korea Utara itu pun mungkin tanpa sepengetahuan Soviet maupun China, meskipun banyak pejabat Amerika yang berpendapat sebaliknya. Moskwa memang telah mengantisipasi bahwa perang bisa berkobar di Korea, namun hal itu diperkirakannya baru akan terjadi pada bulan Agustus.

Ketidaktahuan Soviet itu terbukti dari statusnya yang masih memboikot PBB dalam kaitan dengan penolakan keanggotaan RRC di PBB. Sehingga semua aksi AS di PBB sehubungan dengan krisis perang Korea berjalan lancar tanpa halangan atau pun veto dari Soviet. Sedangkan RRC ketika itu masih mengharapkan terbukanya komunikasi dengan AS dalam soal Formosa. China pun punya kesan bahwa Formosa tidaklah termasuk perimeter pertahanan AS di Pasifik, sehingga ada harapan Washington tidak akan menghalangi pengambilan Formosa oleh RRC. Sebaliknya jika China berusaha merebut Formosa setelah meletusnya perang di Korea, maka dapat dipastikan AS akan menjawabnya dengan kekuatan militer.

Figur Kim Il-sung yang acap digambarkan oleh AS sekadar sebagai boneka Soviet saja, memang mengakui kepemimpinannya di Utara tak lepas dari bantuan Soviet. Namun perintahnya untuk menyerbu ke selatan, lebih disebabkan keyakinannya bahwa AS tidak akan melakukan intervensi. Selain itu dia pun merasa lebih siap dibandingkan Selatan, serta masih berharap adanya dukungan Soviet manakala dia memerlukannya.

Perintah Kim juga tak lepas dari berbagai insiden di perbatasan sejak pertengahan 1949, serta ancaman Presiden Syngman Rhee untuk menyatukan kembali Korea lewat kekuatan senjata. Berbagai krisis politik dan ekonomi yang ketika itu tengah terjadi di Korsel, menggoda Kim Il-sung untuk melancarkan preemptive strike ke selatan. Sehingga dengan sekali serangan itu, ancaman dari Rhee dapat dimatikan dan sekaligus dia pun dapat mempersatukan Korea kembali.

Tetapi impiannya gagal. PBB dan terutama AS akhirnya menghentikan rencana besar Kim 11-sung. Apakah anaknya Kim Jong-il ingin melanjutkan dan mewujudkan impian sang ayah sebagaimana halnya George W. Bush menghidupkan kembali keinginan ayahnya, Presiden Bush Sr, mengalahkan Presiden Saddam Husein dari Irak – hanya sejarahlah yang dapat membuktikannya.