Usman & Harun, Pahlawan Nasional Dari Korps Marinir (Bag 3 - Tabah Sampai Akhir)

Proses Pengadilan.

Usman dan Harun selama kurang lebih 8 bulan telah meringkuk di dalam penjara Singapura sebagai tawanan dan mereka dengan tabah menunggu prosesnya. Pada tanggal 4 Oktober 1965 Usman dan Harun di hadapkan ke depan sidang Pengadilan Mahkamah Tinggi (High Court) Singapura dengan J. Chua sebagai Hakim. Usman dan Harun dihadapkan ke Sidang Pengadilan Tinggi (High Court) Singapura dengan tuduhan :
  1. Menurut ketentuan International Security Act Usman dan Harun telah melanggar Control Area.
  2. Telah melakukan pembunuhan terhadap tiga orang.
  3. Telah menempatkan alat peledak dan menyalakannya.

Dalam proses pengadilan ini, Usman dan Harun tidak dilakukan pemeriksaan pendahuluan, sesuai dengan Emergency Crimina Trials Regulation tahun 1964. Dalam Sidang Pengadilan Tinggi (Hight Court) kedua tertuduh Usman dan Harun telah menolak semua tuduhan itu. Hal ini mereka lakukan bukan kehendak sendiri, karena dalam keadaan perang. Oleh karena itu mereka meminta kepada sidang supaya mereka dilakukan sebagai tawanan perang (Prisoner of War).

Namun tangkisan tertuduh Usman dan Harun tidak mendapat tanggapan yang layak dari sidang majelis. Hakim telah menolak permintaan tertuduh, karena sewaktu kedua tertuduh tertangkap tidak memakai pakaian militer. Persidangan berjalan kurang lebih dua minggu, pada tanggi 20 Oktober 1965 Sidang Pengadilan Tinggi (Hight Court) yan dipimpin oleh Hakim J. Chua memutuskan bahwa Usman da Harun telah melakukan sabotase dan mengakibatkan meninggalnya tiga orang sipil. Dengan dalih ini, kedua tertuduh dijatuhi hukuman mati.

Pada tanggal 6 Juni 1966 Usman dan Harun mengajukan naik banding ke Federal Court of Malaysia dengan Hakim yang mengadilinya: Chong Yiu, Tan Ah Tah dan J.J. Amrose. Pada tanggal 5 Oktober 1966 Federal Court of Malaysia menolak perkara naik banding Usman dan Harun. Kemudian pada tanggal 17 Februari 1967 perkara tersebut diajukan lagi ke Privy Council di London. Dalam kasus ini Pemerintah Indonesia menyediakan empat Sarjana Hukum sebagai pembela yaitu Mr. Barga dari Singapura, Noel Benyamin dari Malayasia, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja SH dari Indonesia, dan Letkol (L) Gani Djemat SH Atase ALRI di Singapura. Usaha penyelamatan jiwa kedua pemuda Indonesia itu gagal. Surat penolakan datang pada tanggal 21 Mei 1968.

Setelah usaha naik banding mengenai perkara Usman dan Harun ke Badan Tertinggi yang berlaku di Singapura itu gagal, maka usaha terakhir adalah untuk mendapat grasi dari Presiden Singapura Yusuf bin Ishak. Permohonan ini diajukan pada tanggal 1 Juni 1968. Bersamaan dengan itu usaha penyelamatan kedua prajurit oleh Pemerintah Indonesia makin ditingkatkan. Kedutaan RI di Singapura diperintahkan untuk mempergunakan segala upaya yang mungkin dapat dijalankan guna memperoleh pengampunan. Setidak-tidaknya memperingan kedua sukarelawan Indonesia tersebut.

Pada tanggal 4 Mei 1968 Menteri Luar Negeri Adam Malik berusaha melalui Menteri Luar Negeri Singapura membantu usaha yang dilakukan KBRI. Ternyata usaha inipun mengalami kegagalan. Pada tanggal 9 Oktober 1968 Menlu Singapura menyatakan bahwa permohonan grasi atas hukuman mati Usman dan Harun ditolak oleh Presiden Singapura.

Pemerintah Indonesia dalam saat-saat terakhir hidup Usman dan Harun terus berusaha mencari jalan. Pada tanggal 15 Oktober 1968 Presiden Suharto mengirim utusan pribadi, Brigjen TNI Tjokropanolo ke Singapura untuk menyelamatkan kedua patriot Indonesia. Pada saat itu PM Malaysia Tengku Abdulrahman juga meminta kepada Pemerintah Singapura agar mengabulkan permintaan Pemerintah Indonesia. Namun Pemerintah Singapura tetap pada pendiriannya tidak mengabulkannya. Bahkan demi untuk menjaga prinsip-prinsip tertib hukum, Singapura tetap akan melaksanakan hukuman mati terhadap dua orang KKO Usman dan Harun, yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 1968 pukul 06.00 pagi waktu Singapura.

Permintan terakhir Presiden Suharto agar pelaksanaan hukuman terhadap kedua mereka ini dapat ditunda satu minggu untuk mempertemukan kedua terhukum dengan orang tuanya dan sanak farmilinya. Permintaan ini juga ditolak oleh Pemerintah Singapura tetap pada keputusannya, melaksanakan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun.


Pesan terakhir.

Waktu berjalan terus dan sampailah pada pelaksanaan hukuman, dimana Pemerintah Singapura telah memutuskan dan menentukan bahwa pelaksanaan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun tanggal 17 Oktober 1968, tepat pukul 06.00 pagi, Dunia merasa terharu memikirkan nasib kedua patriot Indonesia yang gagah perkasa, tabah dan menyerahkan semua itu kepada pencipta - Nya.

Seluruh rakyat Indonesia ikut merasakan nasib kedua patriot ini. Demikian juga dengan Pemerintah Indonesia, para pemimpin terus berusaha untuk menyelesaikan masalah ini. Sebab merupakan masalah nasional yang menyangkut perlindungan dan pembelaan warga negaranya. Satu malam sebelum pelaksanaan hukuman, hari Rabu sore tanggal 16 Oktober 1968, Brigjen TNI Tjokropranolo sebagai utusan pribadi Presiden Suharto datang ke penjara Changi. Dengan diantar Kuasa Usaha Republik Indonesia di Singapura Kolonel A. Ramli dan didampingi Atase Angkatan Laut Letkol (G) Gani Djemat SH, dapat berhadapan dengan Usman dan Harun di balik terali besi yang menyeramkan pada pukul 16.00. Tempat inilah yang telah dirasakan oleh Usman dan Harun selama dalam penjara dan di tempat ini pula hidupnya berakhir.

Para utusan merasa kagum karena telah sekian tahun meringkuk dalam penjara dan meninggalkan tanah air, namun dari wajahnya tergambar kecerahan dan kegembiraan, dengan kondisi fisik yang kokoh dan tegap seperti gaya khas seorang prajurit KKO AL yang tertempa. Tidak terlihat rasa takut dan gelisah yang membebani mereka, walaupun sebentar lagi tiang gantungan sudah menunggu.

Keduanya segera mengambil sikap sempurna dan memberikan hormat serta memberikan laporan lengkap, ketika Letkol Gani Djemat SH memperkenalkan Brigjen Tjokropranolo sebagai utusan Presiden Suharto. Sikap yang demikian membuat Brigjen Tjokropranolo hampir tak dapat menguasai diri dan terasa berat untuk menyampaikan pesan. Pertemuan ini membawa suasana haru, sebagai pertemuan Bapak dan Anak yang mengantarkan perpisahan yang tak akan bertemu lagi untuk selamanya. Hanya satu-satunya pesan yang disampaikan adalah bahwa Presiden Suharto telah menyatakan mereka sebagai Pahlawan dan akan dihormati oleh seluruh rakyat Indonesia, kemudian menyampaikan salut atas jasa mereka berdua terhadap Negara. Sebagai manusia beragama, Brigjen Tjokropranolo mengingatkan kembali supaya tetap teguh, tawakal dan berdoa, percayalah bahwa Tuhan selalu bersama kita. Kolonel A. Rambli dalam kesempatan itu pula menyampaikan, bahwa Presiden Suharto mengabulkan permintaan mereka untuk dimakamkan berdampingan di Indonesia.

Sebelum berpisah Usman dan Harun dengan sikap sempurna menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Presiden RI Jenderal Suharto atas usahanya, kepada Jenderal Panggabean, kepada mahasiswa dan pelajar, Sarjana Hukum, dan Rakyat Indonesia yang telah melakukan upaya kepadanya. Pertemuan selesai, Sersan KKO Usman memberikan aba-aba, dan keduanya memberi hormat.


Menjalani Hukuman Mati.

Pada saat ketiga pejabat Indonesia meninggalkan penjara Changi, Usman dan Harun kembali masuk penjara, tempat yang tertutup dari keramaian dunia. Usman dan Harun termasuk orang-orang yang teguh terhadap agama. Mereka berdua adalah pemeluk agama Islam yang saleh. Di alam yang sepi itu menambah hati mereka semakin dekat dengan pencipta - Nya. Karena itu empat tahun dapat mereka lalui dengan tenang. Mereka selalu dapat tidur dengan nyenyaknya walaupun pelaksanaan hukuman mati semakin dekat.

Pemerintah dan rakyat Indonesia mengenang kembali perjuangan kedua pemuda ini dan dengan keharuan ikut merasakan akan nasib yang menimpa mereka. Sedangkan Usman dan Harun dengan tenang menghuni penjara Changi yang sepi dan suram itu. Mereka menghuni ruangan yang dibatasi oleh empat dinding tembok, sedangkan di luar para petugas terus mengawasi dengan ketat. Usman dan Harun yang penuh dengan iman dan taqwa dan semangat juang yang telah ditempa oleh Korpsnya KKO AL menambah modal besar untuk memberikan ketenangan dalam diri mereka yang akan menghadapi maut. Di penjara Changi, pada hari itu udara masih sangat dingin Suasana mencekam, tetapi dalam penjara Changi kelihatan sibuk sekali. Petugas penjara sejak sore sudah berjaga-jaga, dan pada hari itu tampak lebih sibuk lagi.

Di sebuah ruangan kecil dengan terali-terali besi rangkap dua Usman dan Harun benar-benar tidur dengan pulasnya. Meskipun pada hari itu mereka akan menghadapi maut, namun kedua prajurit itu merasa tidak gentar bahkan khawatirpun tidak. Dengan penuh tawakal dan keberanian luar biasa mereka akan menghadapi tali gantungan.

Sikap kukuh dan tabah ini tercermin dalam surat-surat yang mereka tulis pada tanggal 16 Oktober 1968, yang tetap melambangkan ketegaran jiwa dan menerima hukuman dengan gagah berani. Betapa tabahnya mereka menghadapi kematian, hal ini dapat dilihat dari surat-surat mereka yang dikirimkan kepada keluarganya:

Sebagian Surat Usman yang berbunyi sebagai berikut:
Berhubung tuduhan dinda yang bersangkutan maka perlu anak anda menghaturkan berita duka kepangkuan Bunda sekeluarga semua di sini bahwa pelaksanaan hukuman mati ke atas anakanda telah diputuskan pada 17 Oktober 1968, hari Kamis 24 Rajab 1388.

Sebagian isi surat dari Harun sebagai berikut:
Bersama ini adindamu menyampaikan berita yang sangat mengharukan seisi kaum keluarga di sana itu ialah pada 14-10-1968 jam 10.00 pagi waktu Singapura rayuan adinda tetap akan menerima hukuman gantungan sampai mati.

Bersambung ke Bag 4 - Menghadapi Tiang gantungan

---bersambung---